Selasa, 06 Juni 2017

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR DI KUDUS

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR DI KUDUS

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Tafsir
Dosen Pengampu : Drs. Ma’mun Mu’min M.Ag. M.Hum


 Gambar terkait



Oleh :
1.      Ira Fitrotun                              (1530110001)
2.      Ahmad Ma’sum R                  (1530110005)
3.      Chanifatur Rofiah                   (1530410022)

 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
TAHUN AKADEMIK 2016/2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kudus adalah salah satu kota di Jawa Tengah yang berhimpitan dengan empat kabupaten yaitu Jepara, Pati, Grobogan, dan Demak. Selain dinamakan “kota kretek” Kudus juga disebut-sebut sebagai “kota santri” dengan membawa nama Sunan Kudus dan Sunan Muria yang memperkenalkan lembaga pesantren di kota tersebut. Berangkat dari kedua wali itu, pesantren-pesantren kecil mulai bermunculan sehingga jiwa agamis. Nama Kudus sendiri diresmikan oleh Sunan Kudus setelah beliau pulang dari haji. Bukti sejarah dari peresmian tersebut adalah kaligrafi Arab yang terletak di mihrab masjid menara kudus yang bertuliskan tahun berdirinya masjid Al-Aqsha (menara kudus) yaitu 956 H.
Masyarakat Kudus semasa awal sudah sedemikian rupa terbentuk kesehariannya dengan tradisi pesantren yang dibentuk oleh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) dan Kyai Telingsing. Oleh sebab itu, dengan latar belakang pesantren inilah akhirnya penamaan Kudus diambil dari Bahasa Arab, meskipun masyarakat Kudus tidak ke-Arab-araban.
Sejarah pemikiran Tafsir-Hadits di kota ini tak lepas dari sosok karismatik ulama, para kyai dan lembaga pendidikan dan lembaga pendidikan islamnya baik pesantren maupun madrasah diniyyah, yang dicenangkan para ulama dan kyai tersebut.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah bagaimana sejarah perkembangan tafsir di daerah kudus dari masa ke masa?


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Periode Walisanga
Sosok Sunan Kudus mengawali sejarah peradaban Islam di kota tersebut. Dengan membawa misi islamisasi, beliau mensyiarkan Agama Islam di kota Kudus. Sunan Kudus selain tabahhur dalam tataran ushul dan fiqih, beliau juga ahli dalam bidang tafsir-hadits. Bukti paling nyata pembenturan beliau dengan penafsiran Quran dan Hadits adalah semangat pluralisme beliau dalam melarang penyembahan sapi.
Faktor sosial masyarakat Kudus yang pada saat itu didominasi oleh agama Hindu-Budha, ditambah konflik kesultanan Islam Demak dan Kalinyamat (Jepara), membuat para walisanga cenderung berpolitis dan akulturatif dalam menafsiri Quran dan Hadits.
Pesantren (halaqah) yang diasuh oleh Sunan Kudus mengajarkan tiga mata pelajaran pokok: Quran-Hadits, Fiqih, dan Tasawuf. Metode pengajaran yang beliau pakai masih sederhana dan tradisional yakni bandongan dan sorogan. Murid dari Sunan Kudus merasal dari berbagai kalangan. Baik dari kalangan sudra maupun ningrat sehingga dalam menyampaikan ajaran Islam, beliau beupaya mengkontekstualisasikan penafsiran Quran Hadits sesuai jamannya, dan sesuai kondisi perubahan (transisi) Hindu-Budha ke Islam.
Pada waktu tersebut, Kudus adalah kota yang berpengaruh dalam sejarah munculnya kesultanan Demak. Konflik para raja yang memayungi sejarah tanah Jawa seperti konflik Arya Panangsang dan Sunan Prawata, sumpah Ratu Kalinyamat karena pembunuhan suaminya yaitu Sunan Hadlirin oleh Arya Panangsang sehingga pada akhirnya mengaitkan nama Jaka Tingkir (Sultan Kediri), secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan dan metodologi penafsiran Sunan Kudus, yang bisa disebut-sebut sebagai tokoh paling berpengaruh dalam pembentukan Kesultanan Demak. Untuk diketahui, Arya Panangsang, Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat, Raden Fatah, dan Jaka Tingkir adalah murid Sunan Kudus sendiri.
Secara sederhana, transformasi Tafsir-Hadits yang dilakukan Sunan Kudus adalah kategori dirayah, dengan mengambil pendekatan ulama salaf dalam memahami hadits, dan penafsiran politis, dikarenakan Sunan Kudus adalah tokoh sentral selain Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga dalam menciptakan khalifah islamiah di tanah Jawa, khususnya Kesultanan di Gelagah Wangi (Demak) yang tentu saja ruh politik menjadi pertimbangan utama penafsiran Sunan Kudus.

B.       Periode Kyai Sepuh
Masuk dalam periode ini adalah nama besar KH. Raden Asnawi, beliau adalah keturunan ke-14 dari Sunan Kudus, dan dzuriyah ke-5 dari Syekh Mutamakkin, Kajen, Margoyoso, Pati. Beliau belajar hingga ke Mekkah dan sepulang dari sana beliau mengisi pengajian kitab Shahih Bukhari di Masjid Al-Aqsha, Menara Kudus. Atas kedermawanan Kyai Abdullah Faqih (Langgar Dalem) beliau diberi tanah waqaf oleh Kyai Faqih untuk mendirikan pesantren di Bendan.
Pada waktu itu masyarakat Kudus termasuk kota di bagian Jawa yang merasakan pahitnya penjajahan Belanda. Secara mayoritas, Islam adalah agama dominan. Tapi toleransi dalam beragama masih terasa dengan masih adanya penduduk Tionghoa yang masih meyakin dan melaksanakan kepercayaannya di kota Kudus.
KH. Raden Asnawi mengajarkan ilmu Agama Islam di pesantren tersebut untuk kalangan masyarakat sekitar hingga luar Kudus. Dari tangan beliau, muncullah nama-nama kyai yang berjasa dalam pengembangan Tafsir-Hadits di Kudus untuk menyebarkan Islam yang berwawasan revolusi dan ahlunal-sunnah wa al-jamaah. Disebut-sebut sebagai tokoh yang berperangkat ke Surabaya membidani secara langsung lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), penafsiran dan metodologi Hadits KH. Raden Asnawi adalah berborientasi ke-NU-an, revolutif, dan kecenderungan fiqih. Penyebab beliau cenderung fiqhiyah adalah karena ilmu yang beliau terima dari Mekkah cenderung beraliran tekstual, berpusat di Mekkah, Madinah dan Hijaz, dengan menampilkan Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibn Hanbal sebagai tokoh-tokoh garda depan. Yang tampak dari karakter tradisionalnya aliran tekstualis yang beliau pelajari adalah dimana masyarakat Mekkah, Madinah, dan Hijaz lebih cenderung tertutup rapat dan jarang, bahkan tidak terjadi pergolakan politik.
Improvisasi penafsiran KH. Raden Asnawi nampak lebih jelas dalam keikutsertaan-nya bersama tokoh pergerakan revolusi seperti K. Agus Salim dan HOS, Cokroaminoto, sampai-sampai KH. Raden Asnawi terdengar di kencah tradisional yng disegani ulama Timur Tengah sekaliber Sayid Husen Bek. Dari murid-murid beliau, Tafsir-Hadits disebarkan dan berkembang menjadi berkecenderungan aswaja, revolusi, dan hijazi. Faktor penyebab sosialnya adalah pengukuhan akidah ahlu sunnah wa al-jama’ah sekaligus latar belakang revolusi kemerdekaan atas Belanda di tanah Jawa.

C.      Periode Sekarang
Dari Badan Pusat Statistik (BPS) dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Kudus pada akhir tahun 2009 adalah 759.249 jiwa. Pada tahun akademik 2009-2010, tercatat ada 8 Perguruan Tinggi (PT) di Kudus termasuk diantaranya adalah STAIN Kudus yang lebih dari 200 lembaga pendidikan Islam dimulai dari MI, MTs, dan MA. Bisa dibayangkan bagaimana perkembangan pendidikan di kota ini, yang imbasnya semakin berkembang pula pembelajaran Tafsir-Hadits di kota ini.
Periode setelah Kyai Sepuh ulama yang masuk dalam kategori ini adalah KH. Arwani Amin, KH. Turaichan Al-Djuhri, KH. Ma’roef Asnawi, KH. Sya’roni, KH. Abdul Qadir, KH. Ma’roef Irsyad, KH. Ulin Nuha Arwani, dan KH. Ulil Albab Arwani.
Perkembangan Tafsir-Hadits di kota Kudus sangat tersa pada kurikulum di pondok pesantren di kabupaten Kudus, aliran dan metode penafsiran kontemporer yang disajikan dalam kurikulum Perguruan Tingginya. Bentuk pembelajaran di pesantren lembaga pendidikan Islam seperti Diniyyah dan Madrasah, sudah memiliki perbedaan yang sekaligus menjadi karakteristik masing-masing lembaga. Pesantren masih memegang teguh bentuk pembelajaran tradisional seperti Sunan Kudus dan KH. Raden Asnawi ajarkan. Hanyasaja kitab yang dikaji sedikit diperbarui, hal tersebut bisa dilihat dari kitab pengajian pesantren yang dominan sudah menerima karya tafsir dan hadits besutan ulama-ulama kontemporer semisal Ali Al-Shabuni, Mustafa Azami, Al-Albani, Said Rahmadlan Al-Bhuty, dan lainnya.[1]




BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Masyarakat Kudus memegang teguh larangan untuk berbuat drengki (membuat fitnah), srei (serakah), panasten (mudah tersinggung) dawean (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati), nyinyo marang sepodo (membuat nista terhadap sesama) dan bejot riyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku dulur (menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, asal manusia adalah saudara, jika mau dijadikan saudara).
Ditengah derasnya arus modernisasi yang berimbaskan pada gaya hidup materialis, individualis dan hedonis, muncullah komunitas samin Kudus yang mampu menjaga tradisi, identitas dan adat istiadat yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal (lokal wisdom).
Muncul dan masuknya aliran-aliran pemikiran tafsir-hadits kontemporer dari pegiat perguruan tinggi atau kyai-kyai yang menerima ilmu dari luar (Timur-Tengah), seperti Ignaz Goldziher, Al-Albani, Nasr Hamid Abu Zayd, Fazlur Rahman, Ali Al-Shabuni, Mustafa Azami, Said Ramadlan, dan lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
http://m.kompasiana.com/stakof/perkembangan-tafsir-dan-hadits-di-kota-kudus_552b6c1d6ea834bd468b456e dikutip pada Kamis, 23 Maret 2017 pukul 11.10 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAFSIR LUGHAWY

TAFSIR LUGHAWY Oleh: KM. Abdul Gaffar, S.Th.I BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Al-Qur’an al-karim merupakan hidangan ila...