SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR DI KUDUS
Makalah
Disusun untuk
memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sejarah
Pemikiran Tafsir
Dosen Pengampu :
Drs. Ma’mun Mu’min M.Ag. M.Hum
Oleh :
1. Ira Fitrotun (1530110001)
2. Ahmad Ma’sum R (1530110005)
3. Chanifatur Rofiah (1530410022)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kudus adalah salah
satu kota di Jawa Tengah yang berhimpitan dengan empat kabupaten yaitu Jepara,
Pati, Grobogan, dan Demak. Selain dinamakan “kota kretek” Kudus juga
disebut-sebut sebagai “kota santri” dengan membawa nama Sunan Kudus dan Sunan
Muria yang memperkenalkan lembaga pesantren di kota tersebut. Berangkat dari
kedua wali itu, pesantren-pesantren kecil mulai bermunculan sehingga jiwa
agamis. Nama Kudus sendiri diresmikan oleh Sunan Kudus setelah beliau pulang
dari haji. Bukti sejarah dari peresmian tersebut adalah kaligrafi Arab yang
terletak di mihrab masjid menara kudus yang bertuliskan tahun berdirinya masjid
Al-Aqsha (menara kudus) yaitu 956 H.
Masyarakat Kudus
semasa awal sudah sedemikian rupa terbentuk kesehariannya dengan tradisi
pesantren yang dibentuk oleh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) dan Kyai Telingsing.
Oleh sebab itu, dengan latar belakang pesantren inilah akhirnya penamaan Kudus
diambil dari Bahasa Arab, meskipun masyarakat Kudus tidak ke-Arab-araban.
Sejarah pemikiran
Tafsir-Hadits di kota ini tak lepas dari sosok karismatik ulama, para kyai dan
lembaga pendidikan dan lembaga pendidikan islamnya baik pesantren maupun
madrasah diniyyah, yang dicenangkan para ulama dan kyai tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut dapat dirumuskan masalah bagaimana sejarah perkembangan
tafsir di daerah kudus dari masa ke masa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periode
Walisanga
Sosok Sunan Kudus
mengawali sejarah peradaban Islam di kota tersebut. Dengan membawa misi
islamisasi, beliau mensyiarkan Agama Islam di kota Kudus. Sunan Kudus selain tabahhur
dalam tataran ushul dan fiqih, beliau juga ahli dalam bidang tafsir-hadits.
Bukti paling nyata pembenturan beliau dengan penafsiran Quran dan Hadits adalah
semangat pluralisme beliau dalam melarang penyembahan sapi.
Faktor sosial
masyarakat Kudus yang pada saat itu didominasi oleh agama Hindu-Budha, ditambah
konflik kesultanan Islam Demak dan Kalinyamat (Jepara), membuat para walisanga
cenderung berpolitis dan akulturatif dalam menafsiri Quran dan Hadits.
Pesantren (halaqah)
yang diasuh oleh Sunan Kudus mengajarkan tiga mata pelajaran pokok:
Quran-Hadits, Fiqih, dan Tasawuf. Metode pengajaran yang beliau pakai masih
sederhana dan tradisional yakni bandongan dan sorogan. Murid dari Sunan Kudus
merasal dari berbagai kalangan. Baik dari kalangan sudra maupun ningrat
sehingga dalam menyampaikan ajaran Islam, beliau beupaya
mengkontekstualisasikan penafsiran Quran Hadits sesuai jamannya, dan sesuai
kondisi perubahan (transisi) Hindu-Budha ke Islam.
Pada waktu tersebut,
Kudus adalah kota yang berpengaruh dalam sejarah munculnya kesultanan Demak.
Konflik para raja yang memayungi sejarah tanah Jawa seperti konflik Arya
Panangsang dan Sunan Prawata, sumpah Ratu Kalinyamat karena pembunuhan suaminya
yaitu Sunan Hadlirin oleh Arya Panangsang sehingga pada akhirnya mengaitkan
nama Jaka Tingkir (Sultan Kediri), secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan
dan metodologi penafsiran Sunan Kudus, yang bisa disebut-sebut sebagai tokoh
paling berpengaruh dalam pembentukan Kesultanan Demak. Untuk diketahui, Arya
Panangsang, Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat, Raden Fatah, dan Jaka Tingkir
adalah murid Sunan Kudus sendiri.
Secara sederhana,
transformasi Tafsir-Hadits yang dilakukan Sunan Kudus adalah kategori dirayah,
dengan mengambil pendekatan ulama salaf dalam memahami hadits, dan penafsiran
politis, dikarenakan Sunan Kudus adalah tokoh sentral selain Sunan Ampel dan
Sunan Kalijaga dalam menciptakan khalifah islamiah di tanah Jawa,
khususnya Kesultanan di Gelagah Wangi (Demak) yang tentu saja ruh politik
menjadi pertimbangan utama penafsiran Sunan Kudus.
B.
Periode
Kyai Sepuh
Masuk dalam periode
ini adalah nama besar KH. Raden Asnawi, beliau adalah keturunan ke-14 dari
Sunan Kudus, dan dzuriyah ke-5 dari Syekh Mutamakkin, Kajen, Margoyoso, Pati.
Beliau belajar hingga ke Mekkah dan sepulang dari sana beliau mengisi pengajian
kitab Shahih Bukhari di Masjid Al-Aqsha, Menara Kudus. Atas kedermawanan Kyai
Abdullah Faqih (Langgar Dalem) beliau diberi tanah waqaf oleh Kyai Faqih untuk
mendirikan pesantren di Bendan.
Pada waktu itu
masyarakat Kudus termasuk kota di bagian Jawa yang merasakan pahitnya
penjajahan Belanda. Secara mayoritas, Islam adalah agama dominan. Tapi
toleransi dalam beragama masih terasa dengan masih adanya penduduk Tionghoa
yang masih meyakin dan melaksanakan kepercayaannya di kota Kudus.
KH. Raden Asnawi
mengajarkan ilmu Agama Islam di pesantren tersebut untuk kalangan masyarakat
sekitar hingga luar Kudus. Dari tangan beliau, muncullah nama-nama kyai yang
berjasa dalam pengembangan Tafsir-Hadits di Kudus untuk menyebarkan Islam yang
berwawasan revolusi dan ahlunal-sunnah wa al-jamaah. Disebut-sebut
sebagai tokoh yang berperangkat ke Surabaya membidani secara langsung lahirnya
organisasi Nahdlatul Ulama (NU), penafsiran dan metodologi Hadits KH. Raden
Asnawi adalah berborientasi ke-NU-an, revolutif, dan kecenderungan fiqih.
Penyebab beliau cenderung fiqhiyah adalah karena ilmu yang beliau terima dari
Mekkah cenderung beraliran tekstual, berpusat di Mekkah, Madinah dan Hijaz,
dengan menampilkan Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibn Hanbal sebagai
tokoh-tokoh garda depan. Yang tampak dari karakter tradisionalnya aliran
tekstualis yang beliau pelajari adalah dimana masyarakat Mekkah, Madinah, dan
Hijaz lebih cenderung tertutup rapat dan jarang, bahkan tidak terjadi pergolakan
politik.
Improvisasi
penafsiran KH. Raden Asnawi nampak lebih jelas dalam keikutsertaan-nya bersama
tokoh pergerakan revolusi seperti K. Agus Salim dan HOS, Cokroaminoto,
sampai-sampai KH. Raden Asnawi terdengar di kencah tradisional yng disegani ulama
Timur Tengah sekaliber Sayid Husen Bek. Dari murid-murid beliau, Tafsir-Hadits
disebarkan dan berkembang menjadi berkecenderungan aswaja, revolusi, dan
hijazi. Faktor penyebab sosialnya adalah pengukuhan akidah ahlu sunnah wa
al-jama’ah sekaligus latar belakang revolusi kemerdekaan atas Belanda di
tanah Jawa.
C.
Periode
Sekarang
Dari Badan Pusat
Statistik (BPS) dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Kudus pada akhir tahun 2009
adalah 759.249 jiwa. Pada tahun akademik 2009-2010, tercatat ada 8 Perguruan
Tinggi (PT) di Kudus termasuk diantaranya adalah STAIN Kudus yang lebih dari
200 lembaga pendidikan Islam dimulai dari MI, MTs, dan MA. Bisa dibayangkan
bagaimana perkembangan pendidikan di kota ini, yang imbasnya semakin berkembang
pula pembelajaran Tafsir-Hadits di kota ini.
Periode setelah Kyai
Sepuh ulama yang masuk dalam kategori ini adalah KH. Arwani Amin, KH. Turaichan
Al-Djuhri, KH. Ma’roef Asnawi, KH. Sya’roni, KH. Abdul Qadir, KH. Ma’roef
Irsyad, KH. Ulin Nuha Arwani, dan KH. Ulil Albab Arwani.
Perkembangan
Tafsir-Hadits di kota Kudus sangat tersa pada kurikulum di pondok pesantren di
kabupaten Kudus, aliran dan metode penafsiran kontemporer yang disajikan dalam
kurikulum Perguruan Tingginya. Bentuk pembelajaran di pesantren lembaga pendidikan
Islam seperti Diniyyah dan Madrasah, sudah memiliki perbedaan yang sekaligus
menjadi karakteristik masing-masing lembaga. Pesantren masih memegang teguh
bentuk pembelajaran tradisional seperti Sunan Kudus dan KH. Raden Asnawi
ajarkan. Hanyasaja kitab yang dikaji sedikit diperbarui, hal tersebut bisa
dilihat dari kitab pengajian pesantren yang dominan sudah menerima karya tafsir
dan hadits besutan ulama-ulama kontemporer semisal Ali Al-Shabuni, Mustafa
Azami, Al-Albani, Said Rahmadlan Al-Bhuty, dan lainnya.[1]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masyarakat Kudus
memegang teguh larangan untuk berbuat drengki (membuat fitnah), srei (serakah),
panasten (mudah tersinggung) dawean (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati),
nyinyo marang sepodo (membuat nista terhadap sesama) dan bejot riyot iku
dulure, waton menungso tur gelem di ndaku dulur (menyia-nyiakan orang lain
tidak boleh, asal manusia adalah saudara, jika mau dijadikan saudara).
Ditengah derasnya
arus modernisasi yang berimbaskan pada gaya hidup materialis, individualis dan
hedonis, muncullah komunitas samin Kudus yang mampu menjaga tradisi, identitas
dan adat istiadat yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal (lokal wisdom).
Muncul dan masuknya aliran-aliran
pemikiran tafsir-hadits kontemporer dari pegiat perguruan tinggi atau kyai-kyai
yang menerima ilmu dari luar (Timur-Tengah), seperti Ignaz Goldziher,
Al-Albani, Nasr Hamid Abu Zayd, Fazlur Rahman, Ali Al-Shabuni, Mustafa Azami,
Said Ramadlan, dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://m.kompasiana.com/stakof/perkembangan-tafsir-dan-hadits-di-kota-kudus_552b6c1d6ea834bd468b456e dikutip pada Kamis, 23 Maret 2017 pukul 11.10 WIB.
Sumber: http://m.kompasiana.com/stakof/perkembangan-tafsir-dan-hadits-di-kota-kudus_552b6c1d6ea834bd468b456e
[1] ttp://m.hkompasiana.com/stakof/perkembangan-tafsir-dan-hadits-di-kota-kudus_552b6c1d6ea834bd468b456e dikutip pada
Kamis, 23 Maret 2017 pukul 11.10 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar