Qiraat Sab’ah: Qiraat Ashim Riwayat Hafs
Oleh: Teguh Arafah[1]
- Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai wahyu yang diterima oleh Nabi merupakan petunjuka yang memgurai berbagai dimensi. Makna itu terungkap lewat penafsiran-penafsiran yang dilakukan mufassir dengan berbagai pendekatan. Ragam variasi makna dan penafsiran salah satu yang melatar belakangi adalah persoalan ragam qira’at (bacaan). Perbedaan qira’at bukan sebuah ijitihad para ulama, melainkan riwayat dari Nabi langsung, sehingga secara legitimasi hukum sumbernya dari Nabi saw. Karena sifatnya riwayat dari Nabi saw, maka sumber periwayatnya pun juga berbeda-beda. Hal inilah yang menjadi pembahasan dalam makalah ini tentang qiraat Ashim riwayat Hafs yang diuraikan juga seputar qiraat itu sendiri.
- Pengertian
- Qiraat
Lafaz qiraat merupakan bentuk plural dari kata qiraah yang tidak lain adalah bentuk mashdar dari fi’il qara’a. Kata qira’at sendiri secara etimologi berarti beberapa bacaan. Sedangkan secara terminologi, maka ada beberapa pendapat ulama yang penting untuk diperhatikan. Diantaranya adalah keterangan yang telah dikemukakan oleh Abu Syamah al-Dimasyqi (w. 665/1266)[2] yaitu
Sebuah disiplin ilmu yang mempelajari cara melafazkan kosa kata al-Qur’an dan perbedaannya yang disandarkan pada perawinya.
Dengan jelas dapat diketahui bahwa la-Dimasyqi menganggap ilmu qiraat sebagai sebuah disiplin ilmu yang berbicara tentang tata cara penyebutan dan ragam perbedaan lafadz al-Qur’an.’beliau juga menegaskan bahwa sumber pembahasan ilmu ini berasal dari informasi para perawi yang tentu saja sumber utama adalah Rasulullah saw. Al-Qatthan juga mengemukakan bahwa ilmu qiraat adalah: salah satu madzhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata) al-Qur’an yang diplih oleh salah seorang imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya.[3].
- Macam-macam Qiraat
Ulama membagi qiraat menjadi tiga macam yaitu; qiraat mutawatir, ahad dan syazzah. Qiraat mutawatir adalah qiraat adalah qiraat imam tujuh. Qiraat ahad adalah tiga qiraat yang menjadi tambahan qiraat sepuluh, sedangkan qiraat syazzah adalah qiraat para tabi’in seperti al-Amasy, Ibn Juber, Yahya bin Wasab dan yang lainnya.[4]
Dari tiga pembagian di atas maka ulama memberikan defenisi masing-masing tentang qiraat tersebut
Pertama, Qiraat mutawatir adalah semua qiraat yang sesuai dengan rasm utsmani walau hanya perkiraan dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab walau satu segi saja, dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw.[5]
Dari pengertian tersebut qiraat mutawatir harus memenuhi tiga syarat: [1] sesuai dengan rasm utsmani walau hanya perkiraan (ihtimal). [2] sesuai dengan kaidah bahasa Arab walau satu segi saja, dan [3] sanad qiraat bersambung kepada Rasulullah saw.
- Hakikat Perbedaan Qiraat
Dalam disiplin ilmu qiraat dikenal dengan istilah qiraat sab’ah, maka yang dimaksud bukanlah sab’ah ahruf (tujuh huruf). Dengan kata lain qiraat sab’ah dengan sab’ah huruf merupakan dua hal yang berbeda, yang dimaksud dengan qiraah sab’ah adalah tujuh madzhab qiraat yang diwakili oleh tujuh orang imam qiraat. Bahkan dalam kajian ilmu qiraat yang lebih dalam akan dijumpai istilah al-Qira’ah al-Asyr dan al-Qiraah al-Arba’ah al-Asyr yakni qiraat yang berjumlah sepuluh maupun empat belas.Keberadaan madzhab yang dikenal dalam disiplin ilmu qiraat tidak lain merupakan konsekuensi dari perbedaan qiraat al-Qur’an.
Namun yang berkembang dikalangan kaum muslim adalah mengenai hakikat perbedaan qiraat al-Qur’an itu sendiri. Karena hal ini tidak dibahas secara spesifik oleh rasulullah saw.Pokok persoalannya ada pada memahami kata ahruf. Kata ahruf merupakan bentuk plural dari kata harf yang secara bahasa berarti salah satu huruf hijaiyyah, ada juga yang memaknainya sebagai tepi sesuatu.[6] Ada juga yang memaknainya dengan dalam kointeks itu adalah qiraat, dialek, bahasa dan lain-lain. Menurut al-Sayuthi ada sekitar empat puluh pendapat ulama dalam masalah terminologi sab’ah ahruf.[7] Manna al-Qathhan juga mengemukakan bahwa sab;ah ahruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama dengan pengertian apabila bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna.[8]
- Profil Imam Ashim
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Asim bin Abu al-Najud, dipanggil dengan nama Abu Bahdalah, ia termasuk tabiiin yang meninggal dikufah pada tahun 127 H dan ia memiliki dua riwayat yaitu Syu’bah dan Hafs.[9] Nama kuniyah yang beliau miliki adalah Abu Bakar . Ashim berhasil meraih posisi terhormat dikalangan para ulama ahli qiraat dan banyak sekali pujiaan maupun sanjungan yang ditujukan kepada beliau. Di anataranya berasal dari Abu Ishaq al-Subi’i yang telah menganggap bahwa beliau adalah seorang ulama ahli dalam bidang qiraatul qur’an. Kompetesi beliau sebagai seorang ulama ahli qiraat juga bisa diketahui dengan jelas dari keterangan yang disampaikan Abu Bakar Syu’bah ibn Ayyas sebagai berikut: Ashim pernah berkata kepadaku, aku telah menderita sakit selama dua tahun. Setelah sembuh, aku kembali membaca al-Qur’an. Ternyata aku tidak melakukan kesalahan membaca sekalipun hanya satu huruf. Bahkan Ashim adalah orang yang paling menguasai qiraat Zaid bin Tsabit, hal ini terungkap dalam pengakuan beliau : Di antara kami ada dua orang yang sangat ahli dalam ilmu qiraat. Salah satunya sangat ahli qiraat Zaid adalah Ashim.
Ashim bin Bahdalah bukan hanya seorang ulama yang ahli dalam bidang ilmu qiraat, beliau juga termasuk dalam jajaran tokoh hadits. Banyak sekali hadits Rasulullah saw yang telah beliau riwayatkan. Bahkan riwayat-riwayat haditsnya juga tercantum di dalam shahih bukhari dan Muslim.[10]
Selain itu Ashim juga termasuk seorang ulama yang menguasai ilmu bahasa dngan sangat baik. Ia disebut sebagai seorang ahli ilmu nahwu dan memliki logat bahasa yang fashihh. Apabila melontarkan sebuah statemen, makan penjelasannya masyhur dikalangan masyarakat. Diantara tokoh yang mengakui kefasihan logat bahasa Arab Imam Ashim adalah Hasan ibn Shalih. Tidak hanya sebatas itu, Ashim juga termasuk ulama yang tekun dalam ibadahnya. Sementaradi anatar etika terpuji beliau adalah sikap sportif dan jujur, beliau tidak segan untuk mengakui kebesaran orang lain sekalipun tokoh tersebut masih termasuk anak muridnya. Disebutkan sebuah riwayat bahwa beliau tidak malu untuk datang meminta fatwa kepada Sufyan al-Tsauri (w. 161/ 777). Bahkan juga beliau mengakui kebesaran muridnya tersebut dalam ungkapan beliau sebagai berikut: Wahai Sufyan, dulu ketika masih kecil, engkau datang belajar kepada kamii.Namun kamu sekarang sudah menjadi tokoh besar ketika kami datang kepadamu.[11]
Singkat cerita, Imam Ashim meninggal dunia di Kufah pada tahun 127/744 Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada tahun 128/745. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika beliau sedang mengalami kondisisakratul maut, Abu Bakar Syu’bah bin Ayyasy tengah mengejutkannya. Ketika itulah dia menjumpai Imam Ashim sedang membaca dari surat al-An’am: Tsumma ruddu ila Allahi maulahum al-haqq (kemudian mereka kmbali kepada Tuhan mereka Allah yang Maha benar)
Diantara guru-guru Imam Ashim dalam bidang qiraat terdapat dua orang
- Abu Abd Rahman al-Sulamiy
- Zirr ibn Hubaisy
Sedangkan murid-muridnya sebagai berikut
- Hafsh ibn Sulaiman alAsady
- Syu’bah ibn Ayyasy
Sedangkan selanjutnya makalah ini akan menguraikan juga profil perawi Hafs yang karena perawi qiraat juga memliki kedudukan yang sangat vital dalam memelihara kesinambungan mata rantai sanad qiraat. Berikut profil Hafsh
Beliau adalah Umar hafsh ibn Sulaiman ibn al-Mughirah al-Asady al-Bazzar al-Gadhiory al-Kufy. Ada juga yang menyebutkan bahwa garis nasab beliau adalah Hafsh ibn Abu Dawud.[12] Namun pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara nasab yang disebutkan terakhir dengan nasab yang disebutkan pertama kali. Karena Abu Dawud merupakan nama kuniyah dari Sulaiman yang tidak lain adalah nama ayahanda Hafsh, beliau juga dikenal dengan sebutan Hufaish. Selain sebagai seorang ahli ilmu qiraat , Hafs juga merangkap sebagai seorang perawi hadits Rasulullah saw, hanya saja reputasi beliau dalam kajian ini tidak secemerlang nama ayah tirinya. Statusnya sebagai perwai hadits cukup kontroversial di kalangan ulama ahli hadits. Ada yang mengatakan sekalipun ketokohan beliau dalam ilmu qiraat tidak dragukan lagi, namun riwayat hadistnya tidak dapat diterima.[13]
Ali ibn al-Madini juga menganggap riwayat hadits Hafsh berkualitas dha’if. Oleh karena itu, dia sengaja meninggalkan riwayatnya. Al-Bukhari dan Muslim mengatakan kalau riwayat hadits Hafsh ditingggalkan oleh para ulama hadits. Sedangkan menurut al-Nasa’i, Hafs bukan tergolong perawi haidts yang tsiqah. Bahkan dia tidak menulis riwayat hadits yang telah dia dapat. Adapun menurut Ibn Hibban, Hafs merupakan perawi yang pernah me marfu’kan hadis mursal dan terbalik dalam menyampaikan sanad hadits.[14]
Dalam persolan qiraat Hafsh disebut-sebut belajar kepada ‘Ashim ibn Abi al-Najud, sedangkan murid yang meriwayatkan qiraat dari beliau cukup banyak, di antaranya ‘Ubaid ibn al-Shabbah, ‘Amr ibn al-Shabbah, Husain ibn Muhammad al-Marwadzi, Hamzah ibn al-Qasim al-Ahwal, Sulaiman ibn Daud al-Zahrany, Hamdan ibn Abi Utsman al- Daqqaq, al-Abbas ibn al-Fadhl al-Shigar, Abd Rahman ibn Muhammad ibn Waqid, Muhammad ibn al-Fadl, Khalaf al-Haddad, Hubairah ibn Muhammad ibn Tammar, Abu Syuaib al-Qawwas, Fadhl ibn Yahya ibn Syahy ibn Firas al-Anbary dan Sulaiman al-Faqimy.[15]
- Teori Qiraat Ashim riwayat Hafsh
Kenyataan adanya perbedaan qiraat merupakan konsekuensi dari adanya sab’ah ahruf yang bersumber dari riwayat yang bersambung kepada Rasulullah saw, dengan kata lain perbedaan qiraat yang akhirnya terinstitusi dalam beberapa madzhab qiraat merupakan sesuatu yang harus disandarkan pada sistem riwayat. Perbedaan antara madzhab yang satu dengan yang lain bukanlah sekedar pilihan-pilihan bebas tanpa aturan yang mengikat. Pada dasarnya perbedaan qiraat yang terdapat di antara madzha, riwayat, maupun thariq yang satu dengan yang lainnya terbagi menjadi dua bagian; [1] qawaid ushuliyyah dan farsy al-huruf. Yang dimaksud dengan perbedaan qawaid ushuliyyah perbedaan-perbedaan qiraat yang bersifat umum dan bisa diqiyaskan antara satu dengan yang lain, karena sering muncul di beberap tempat. Berbeda dengan farsy al-huruf yang hanya bersifat parsial dan tidak bisa diqiyaskan karena memang disebutkan dalam frekuensi yang tidak terlalu sering atau bahkan hanya disebutkan sekali. Berikut ini beberapa teori madzhab qiraat Ashim riwayat Hafsh yang dimulai dengan perbedaan sebagai berikut
- Perbedaan qawaid ushuliyyah
- Bacaan Basmalah
Mengenai aturan membaca basmalah, para ulama ahli qiraat membaginya menjadi tiga macam:[16]
- Basmalah yang dibaca pada permulaan surat
Para ulama bisa dibilang sepakat bahwa basmalah dibaca di awal setiap surat, kecuali pada permulaan surat al-Taubah
- Basmalah yang dibaca bukan pada permulaan surat
Para ulama juga masih sepakat dalam kasus basmalah yang bukan pada permulaan surat, antara membacanya atau tidak membacanya. Hanya saja menurut mereka, yang lebih uutama adalah tetap membaca basmalah sekalipun tidak pada permulaan surat.
- Basmalah yang dibaca diantara dua surat al-Qur’an
Pada bagian inilah para imam qiraat berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa basmalah tetap dibaca di akhir sebuah surat sebelum seseorang meneruskan pada surat al-Qur’an yang lainnya. Namun ada juga imam qiraat yang berpendapat bahwa basmalah tidak perlu lagi di baca antara dua surat. Di antara kelompok imam yang berpendapat bahwa basmalah di baca di antara dua surat adalah Imam Ashim.
- Gunnah’
Yang dimaksud dengan gunnah adalah suara dengung yang keluar dari rongga hidung akibat membaca huruf nun- atau nun yang bentuk tanwin dan huruf mim. Para imam Qiraat membagi bacaan gunnah menjadi tiga macam
- al-Musyaddad yakni bacaan gunnah yang timbul karena adanya pertemuan dua huruf nun maupun Salag satu contohnya adalah pada QS al-Baqarah [2] 82 ulaaika ashabu al-jannah
- Idgham
Yang dimaksud dengan idgham adalah memasukkan huruf pertama pada huruf kedua sehingga cara artikulasinya menjadi mudah. Pembahasan idgham dibagi menjadi dua kelompok
- Idgham Kabir, yakni bertemunya dua huruf mutamatsilain, mutaqariba, atau mutanjisan yang sama-sama berharakat dalam satu kata atau dua kata. Dalam kasus idgham kabir hanya ada idgham kabir mutamatsilain dalam riwayat Hafsh. Tidak ada idgham kabir mutaqariban dalam riwayat ini.
- Idham Shagir yakni bertemunya dua huruf mutamtsilain, mutaqaribain atau mutanajisaini dalam satu dua kata, di mana huruf yang pertama di sukun dan huruf yang kedua berharakat. Hal ini menjadi dibagi tiga:
- Idgham mutamatsilain, yakni bertemunya dua huruf yang memiliki kesamaan makhraj dan Contoh (QS [2] 16) fa ma rabihat tijaratahum wa ma kanu muhtadin. Khusus untuk lafaz maliyah halaka pada ayat; ma agna anni malihi halaka anni sulthanihi, selain dibaca idgham mutamatsilain, Hafs juga membacanya saktah yakni berhenti pada kata malihah tanpa bernafas untuk kemudian memulainya pada kata halaka.
- Idgham mutajanisan yakni bertemunya dua huruf yang memliki kesamaan makhraj namun tidak memiliki kesamaan sifat. Contoh pada QS [7] 176, lafal yalhats di-idghamkan pada lafaz Hal ini berbeda dengan riwayat Hafsh thariq Thayyibah yang membaca izhar kedua lafaz tersebut.
- Idgham Mutaqaribain yakni bertemunya dua huruf yang memiliki keketakan makhraj dan sifat. Contoh pada QS [23] 118 wa qul rabbigfir warham. Lafaz qul pada ayat tersebut di-idgham-kan pada kata Namun hal ini tidak berlaku pada lafaz kalla bal rana (QS [83] 14). Sebab riwayat Hafs thariq Syatibiyyah tidak meng-idghamkan lafaz bal pada kata rana melainkan membaca saktah.[17]
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka beberapa poin mendasar yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan sebagai berikut: [1] Qiraat adalah ragam cara bacaan yang punya legitimasi dan landasan riwayat dari Nabi saw ‘ [2] Pemaknaan terhadap qiraat sendiri dasar awal terhadap konsep sab’atu ahruf sebagian memaknainya dengan ragam tujuh bacaan atau ragam dialek bahasa. [3] Qiraat diklasifikasi pada tiga macam; mutawatir, ahad dan syadz, [4] teori qiraat Ashim riwayat Hafs berdasarkan pada teori qawaid ushuliyyah yang meliputi idgham, pembacaan awal basmalah, gunnah dan lain-lain.
[1] Tugas akhir mata kuliah “Ilmu Qira’at” di bawah bimbingan Dr. Akshin Sakhu Muhammad. MA pada program magister pasca sarjana fakultas ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] Al-Dimasyqi, Ibraz al-Ma’any min Hirz al-Amany fi al-Qiraat al-Sab’ li al-Imam al-Syathibi, hal, 12.
[3] Manna’ al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (tt, Mansyurah al-Ashr al-Hadis, tth), hal, 170
[4] Al-Sayuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr),hal, 164.
[5] Al-Jazari, al-Munjid al-Muqri’in, hal, 15.
[6] Ibn Manzhur, Lisan Arab (Beirut: dar Shadr, tth), hal, 41.
[7] Al-Sayuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 47.
[8] Manna al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, hal, 162.
[9] Mali laila Najihah, Implikasi Qiraat Syazzah dalam penafsiran, hal, 28.
[10] Muhammad ibn Abi Ya’la, Thabaqat al-Hanabilah. Maktabah Syamilah
[11] Ahmad ibn Muhammad ibn Khalikan, Wafayat al’A’yan wa Anba’ al-Zaman, hal, 387.
[12] Ibn Hajar, Taqrib Tahzib, hal, 172.
[13] Ibn Hajar, Taqrib Tahzib, hal, 172.
[14] Ibn Hajar, Tahzib al-Tahzib, hal, 173
[15] Ibn al-Jazary, Taqrib l-Nasyr fi Qira’at al-Asyr (Mesir: Mushthafa al-Bani), hal, 66.
[16] Ajamy al-Marshafy, Hidayah al-Qariy ila Tajwid Kalam al-bari, hal, 573-575
[17] Lebih Lanjut lihat Wawan Djunaedi, Madzhab Qiraa’t, hal,144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar