TAFSIR AL-KASYSYAF KARYA AZ-ZAMAKHSYARI
oleh: Chanifatur Rofiah
Latar Belakang
At‐Tafsir berasal dari akar kata fasara yang artinya ; menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Sedangkan tafsir menurut istilah, seperti yang diungkapkan oleh Az‐Zarkasyi ; "Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, menjelaskan maknamaknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya." Tafsir adalah ilmu keagamaan yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya. bagaimana tidak, ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek bahasannya dan paling mulia tujuannya. Obyek pembahasannya adalah Kalamullah yang adalah sumber segala kebaikan, hikmah dan keutamaan. Tujuan utamanya sangat mulia yaitu mengungkap makna, mengurai dan menjabarkan serta menjelaskan tentang syariat. Kegiatan ilmu tafsir yakni merenungkan kalam Ilahi dan menarik keluar hikmah‐hikmah, makna-maknanya baik yang tampak dipermukaan maupun yang tersembunyi di kedalaman.[1]
Kecenderungan
para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran terkadang difokuskan pada
tafsiran ayat-ayat tertentu. Berdasarkan berbagai fokus tafsiran yang dilakukan
oleh para mufasir tafsir telah berkembang berbagai corak, salah satunya adalah
tafsir lughowi. Yang mana ilmu bahasa merupakan syarat utama bagi seorang
mufassir. Adapun salah satu tafsir yang bercorak lughowi adalah Tafsir al-Kasysyaf
yang ditulis oleh az-Zamakhsyari. Adapun penjabaran tentang tafsir tersebut akan
dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.
Biografi az-Zamakhsyari
Nama aslinya adalah Abu al-Qasim Jarullah
Mahmud ibn Umar Az-Zamakhsyari al-Khawarizmi. Tokoh tafsir mu’tazilah ini
dilahirkan tanggal 27 Rajab 467 H/8 Maret 1075 M di Zamakhsyar, sebuah desa di
Khawarizm (Turkistan).[1]
Pada masa kelahirannya yang memegang kekuasaan adalah Sultan Jalal Ad-Dunya
ad-Din Abu al-Fath Malik Syah dan sebagai Wazirnya diangkatlah Nizam al-Muluk.
Usaha pengembangan ilmu pada masa ini sangat digalakkan dan dibuka lebar.
Sehingga Malik Syah dikenal oleh masyarakat.[2]
Beliau lahir dan berkembang di
tengah-tengah lingkungan keluarga yang berilmu dan taat beribadah. Sejak
memasuki usia sekolah, az-Zamakhsyari sudah menyenangi ilmu-ilmu pengetahuan
dan kebudayaan. Ayahnya adalah seorang imam masjid di desa Zamakhsyar. Bisa
dikatakan bahwa Zamakhsyari berasal dari keluarga miskin. Namun dibalik
kemiskinannya itu tercipta suasana agamis dan patuh menjalankan agama. Walaupun
ayahnya seorang yang miskin dan tidak banyak harta, tetapi ia adalah seorang
yang alim dan mempunyai sifat wara’ dan zuhud.[3]
Setelah ia menamatkan pendidikan dasar,
ia meninggalkan desanya untuk menuntut imu ke Bukhara. Pada masa itu, Bukhara
terkenal sebagai pusat pendidikan terkemuka dibawah dinasti Samanid pada waktu
itu. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan aktivitasnya dalam berkarya
yang ditulisnya, mendorong untuk selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke
daerah yang lain. sehingga menyebabkan ia
membujang seumur hidupnya.
Kemudian kembali ke kota kelahirannya
disebabkan karena ayahnya wafat. Dikalangan ulama, ia terkenal sebagai orang
yang sangat luas ilmunya dan ahli dalam berdiskusi.[4] Zamakhsyari
adalah seorang ahli bahasa dan sastra Arab. Sejak kecil sudah tertanam dalam
dirinya rasa cinta terhadap bangsa dan bahasa Arab serta ilmu pengetahuan.
Bukti kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan diwujudkannya dengan mencari dan
menuntut ilmu kepada para guru dan syeh. Ia tidak hanya berguru langsung kepada
para ulama yang hidup semasa dengannya, tetapi juga menimba ilmu dengan
menelaah dan membaca berbagai buku yang ditulis oleh para ulama sebelumnya.
Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga
telah berguru di bidang ilmu sastra (philology), Zamakhsyari berguru kepada Abu
Hasan ibn al-Muzhaffar al-Naishabury. Di bidang hadits ia menimba ilmu kepada
Abu Mansyur Nashr al-Harisi, Abu Sa’ad al-Syaqafi dan Abu al-Khathab ibn Abu
Bathr al-Bakhara.[5]
Pada tahun 512 H al-Zamakhsyari menderita sakit keras yang menyebabkannya
hampir melupakan segala yang diidam-idamkannya selama ini. Setelah sembuh, ia
melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Lalu ia menuju ke Baitul Haram, di Makkah
selama dua tahun. Kemudian pulang kembali ke Zamakhsyar. Pada tahun 526 H ia
kembali ke Makkah dan menetap selama tiga tahun. Di kota inilah ia menulis
karya tafsirnya al-Kasysyaf, yang merupakan karya monumentalnya. Tanpa
ragu-ragu ia memberi makna suatu kata dalam al-Quran dengan makna yang
disepakati dalam praktek kebahasaan di kalangan masyarakat Arab. Demikianlah
dalam usia yang relatif tua, ia melahirkan hasil dari kajian-kajian panjang
yang ditekuni pada masa mudanya.
Pada tahun 538 H/1144 M pada malam
Arafah, Zamakhsyari meninggal dunia di desa Jurjaniyah, wilayah Khawarizm,
sekembalinya dari Makkah.[6]
Tafsir al-Kasysyaf
a.
Latar belakang
penulisan
Tafsir yang berjudul al-Kasysyaf Al-Kashshaaf 'an Haqa'iq at-Tanzil ini mulai ditulis oleh
az-Zamakhsyari ketika ia berada di Makkah pada tahun 526 H dan selesai pada
hari Senin, 23 Rabi’ul Akhir 528 H. Alasannya menulis tafsir ini adalah karena adanya permintaan
yang menamakan diri mereka sebagai Fi’ah an-Najiyah al-‘Adiyah. Kelompok
ini adalah kelompok mu’tazilah.
Dia mendiktekan
kepada orang-orang yang meminta tersebut mengenai fawatuh as-suwar dan beberapa pembahasan tentang
hakikat-hakikat surat al-Baqarah. Ternyata penafsirannya mendapatkan sambutan
hangat dari berbagai negeri. Dalam perjalanannya yang kedua ke Makkah, banyak
tokoh yang menjumpainya menyatakan keinginannya untuk mendapatkan karyanya
tersebut. Bahkan setelah tiba di Makkah, ia diberi tahu bahwa pemimpin
pemerintahan Makkah, Ibn Wahhas bermaksud mengunjunginya di Khawarizm untuk
memperoleh kitab tafsirnya itu. Melihat respond tersebut, Zamakhsyari menjadi
bersemangat untuk memulai menulis tafsirnya, meskipun dalam bentuk yang lebih
ringkas dari yang ia diktekan sebelumnya.
Penafsiran yang
ditempuh Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya sangat menarik karena uraiannya
singkat tapi jelas sehingga para ulama Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir dapat
dipresentasikan para ulama Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan
sengan corak i’tizali, dan hasilnya adalah tafsir al-Kasysyaf yang
sekarang ini.[1]
b.
Corak dan metode
tafsir al-Kasysyaf
Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib
mushafi yaitu berdasarkan urutan ayat dan surat dalam Mushaf Usmani, yang
terdiri dari 30 juz dan 114 surat, dimulai dari al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Nas. Setiap surat diawali dengan basmalah kecuali surat
at-Taubah.
Dalam menafsirkan Quran, Zamakhsyari
lebih dahulu menuliskan ayat Quran yang hendak ditafsirkan, kemudian memulai
penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan dalil-dalil
dari riwayat atau ayat Quran, baik yang berhubungan dengan asbabun nuzul suatu
ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun begitu, ia tak terikat oleh
riwayat dalam penafsirannya. Kalau ada riwayat yang mendukung penafsirannya
maka ia akan mengambilnya, jika tidak ada ia akan tetap melakukan penafsiran.
Metode yang digunakan Zamakhsyari adalah
metode tahlili. Seorang mufassir menafsirkan al-Quran sesuai dengan tertib
susunan al-Quran mushaf usmani, menafsirkan ayat demi ayat kemudian surat demi
surat dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas. Ia menafsirkan kosa
kata dan lafadz, menjelaskan arti kata yang dikehendaki, sasaran yang dituju
dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah dan keindahan
susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat yaitu hukum
fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, akidah atau
tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, hakikat, majaz, kinayah, serta
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
sesudahnya. Penafsir juga merujuk pada sebab-sebab turun ayat, hadits
Rasulullah saw, dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.
Zamakhsyari dalam menghasilkan karya
tafsirnya menggunakan kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu sebagai rujukan. Berikut
adalah kitab-kitab yang digunakan Zamakhsyari, yaitu:
a.
Sumber tafsir
1.
Tafsir Mujahid
2.
Tafsir ‘Amr ibn
As ibn ‘Ubaid al-Mu’tazili
3.
Tafsir Abi Bakr
al-Mu’tazili
4.
Tafsir al-Zajjaz
5.
Tafsir ar-Rumani
6.
Tafsir ‘Ali ibn
Abi Thalib dan Ja’far as-Shiddiq
7.
Tafsir dari
kelompok Jabariyah dan Khawarij
b.
Sumber hadits
Zamakhsyari dalam melakukan penafsiran
mengambil dari berbagai macam hadits, tetapi yang disebutkan secara jelas hanya
Shahih Muslim saja. Ia biasanya menggunakan istilah al-hadits.
c.
Sumber qira’at
1.
Mushaf ‘Abdullah
ibn Mas’ud
2.
Mushaf Haris
ibn Suwaid
3.
Mushaf Ubay bin
Ka’ab
4.
Mushaf ulama
Syam dan Hijaz
d.
Sumber bahasa
dan tata bahasa
1.
Kitab an-Nahwi
karya Sibawaihi
2.
Islah al-Mantiq
karya Ibn al-Sukait
3.
Al-Kamil karya al-Mubarrad
4.
Al-Mutammim
karya Abdullah ibn Dusturiyah
5.
Al-Hujjah karya
Abi ‘Ali al-Farisi
6.
Al-Halabiyyat
karya Abi ‘Ali al-Farisi
7.
Al-Tamam karya
Ibn al-Jinni
8.
Al-Muhtasib
karya Ibn al-Jinni
9.
At-Tibyan karya
Abi al-Fath al-Hamdani
e.
Sumber sastra
1.
Al-Hayaran
karya al-Jahiz
2.
Hamasah karya
Abi Tamam
3.
Istagfir dan istagfir
karya Abu al-‘Abd al-Mu’arri.[2]
Kesimpulan
Nama aslinya adalah Abu al-Qasim Jarullah Mahmud ibn Umar Az-Zamakhsyari
al-Khawarizmi. Tokoh tafsir mu’tazilah ini dilahirkan tanggal 27 Rajab 467 H/8
Maret 1075 M di Zamakhsyar, sebuah desa di Khawarizm (Turkistan). Tafsir yang
berjudul al-Kasysyaf Al-Kashshaaf
'an Haqa'iq at-Tanzil ini mulai ditulis oleh az-Zamakhsyari ketika ia berada di
Makkah pada tahun 526 H dan selesai pada hari Senin, 23 Rabi’ul Akhir 528 H. Alasannya menulis tafsir ini
adalah karena adanya permintaan yang menamakan diri mereka sebagai Fi’ah
an-Najiyah al-‘Adiyah. Karya tafsirnya
al-Kasysyaf yang merupakan karya monumentalnya. Tanpa ragu-ragu ia memberi
makna suatu kata dalam al-Quran dengan makna yang disepakati dalam praktek
kebahasaan di kalangan masyarakat Arab. Demikianlah dalam usia yang relatif
tua, ia melahirkan hasil dari kajian-kajian panjang yang ditekuni pada masa
mudanya.
[1]
http://eprints.walisongo.ac.id/275/4/74211039_Bab3.pdf
[2]
Ibid.
[1]
Yunahar Ilyas, Feminisme
Dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998, hlm: 29
[2]
Mukti Ali dkk, Ensiklopedi
Islam Jilid III, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, hlm: 1323
[3]
Said Agil Husin
al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: PT.
Ciputat Press, 2005, hlm: 103
[4]
Ali Hasan
al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Bandung: Raja Grafindo Persada,
1994, hlm: 28-29
[5]
Yunahar Ilyas, Feminisme
Dalam... hlm: 30
[6]
A Rofiq, Studi
Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, hlm: 47
[1]
Modul Pesantren
Virtual, Ulumul Quran, Jakarta: Asia Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar