PANDANGAN QURAISH SHIHAB TENTANG KEPEMIMPINAN
DALAM TAFSIR AL-MISBAH
Chanifatur Rofiah
A.
Biografi M. Quraish
Shihab
Quraish shihab lahir pada tanggal 16
Februari 1944 di Rappang, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman
Shihab adalah keluarga keturunan arab yang terpelajar dan menjadi ulama
sekaligus guru besar di IAIN Alauddin Ujung Pandang. Sebagai seorang yang
berfikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan merupakan agen perubahan.
sejak kecil M. Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap
Al-Quran. Pada umur 6-7 tahun, ia harus mengikuti pengajian Al-Quran yang
diadakan ayahnya sendiri. Pada waktu itu, selain menyuruh membaca Al-Quran,
ayahnya juga menguraikan secara sepintas tentang kisah-kisah dalam Al-Quran.
Disinilah mulai tumbuh benih-benih kecintaan Quraish Shihab kepada Al-Quran.[1]
M. Quraish Shihab menyelesaikan sekolah
dasarnya di kota Ujung Pandang. Kemudian ia melanjutkan sekolah menengahnya di
kota Malang sambil belajar agama di pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah.[2]
Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun ia berangkat ke kairo, Mesir untuk
melanjutkan studi, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia
diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil jurusan
Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada tahun 1967.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya pada fakultas dan jurusan yang sama
hingga memperoleh gelar master (MA) pada tahun 1969.[3]
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish
Shihab dipercayakan untuk menjabat wakil Rektor bidang Akademis dan
Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Ujung Pandang. Selain itu dia juga diserahi
jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus maupun seperti Koordinator Perguruan
Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus
seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur.
Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab
kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamater yang lama,
Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982 dengan disertasi berjudul Nazm
al-Durar li al-Baqa’i, Tahqiq wa Dirasah, ia berhasil meraih gelar Doktor
dalam ilmu-ilmu al-Quran dengan Yudisium Summa Cum Laude disertai
penghargaan tingkat pertama (Mumtaz ma’a martabat as-syaraf al-‘Ula) di
Asia Tenggara yang meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Quran di Universitas
Al-Azhar.[4]
B.
Pemikiran Tentang
Kepemimpinan
Agar manusia menyelesaikan tugasnya
sebagai khalifah, manusia dibekali berbagai keistimewaan dan potensi yang telah
tergambar dalam kisah perjalanannya menuju tempat tugasnya. Keistimewaan inilah
yang dalam Islam dikenal dengan istilah fitrah. Namun fitrah manusia itu
sendiri tidak hanya terbatas pada fitrah keagamaan saja, meskipun kepercayaan
akan adanya Yang Maha Kuasa adalah fitri dalam jiwa dan akal manusia dan tidak
dapat diganti dengan yang lain. manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah
jasadiyah, manusia dapat menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah
akliyah. Dan senang apabila mendapat kebahagiaan adalah fitrahnya.[5]
Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat
30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ
قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Malaikat mempunyai kekhawatiran dan
dugaan terhadap khalifah yang akan diciptakan Allah SWT ini adalah makhluk yang
akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah dalam perselisihan.
Dugaan ini berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana
ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasar asumsi bahwa yang
akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka pasti makhluk tersebut
berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih dan menyucikan Allah SWT.[6]
Bagaimanapun
pengertian khalifah yang jelas ia dianugerahi wewenang oleh Allah swt.
Khususnya Adam dan anak cucunya mengharuskan makhluk yang diserahi tugas untuk melaksanakan tugasnya sesuai
petunjuk Allah swt yang memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak
sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas
kekhalifahan.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Gusmian,
Islah. Khazanah Tafsir Indonesia. Jakarta: Teraju. 2011.
Quraish, M Shihab. Memahami
Al-Quran. Bandung: Mizan. 1994.
Quraish, M Shihab.
Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan dalam Keserasian Al-Quran Juz ‘amma Vol.
15. Jakarta: Lentera Hati. 2004.
Quraish, M Shihab.
Tafsir Al-Misbah Vol I. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Quraish, M Shihab.
Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan. 1998.
Raziqin,
Badiatul dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: E-Nusantara.
2009.
[1]
Badiatul
Raziqin dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: E-Nusantara,
2009, hlm: 269
[2] M. Quraish
Shihab, Memahami Al-Quran, Bandung: Mizan, 1994, hlm: 6
[3] Badiatul
Raziqin dkk, 101 Jejak... hlm: 269-270
[4]
Islah Gusmian, Khazanah
Tafsir Indonesia, Jakarta: Teraju, 2011, hlm:81
[5]
M Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: Mizan, 1998, hlm: 284
[6] M Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan dalam Keserasian Al-Quran Juz
‘amma Vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2004, hlm: 142
[7] M Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol I, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm: 173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar