Rabu, 31 Mei 2017

Penjelasan QS. Al-Maidah ayat: 105 dalam Tafsir Al-Qurtubi



Penjelasan QS. Al-Maidah ayat: 105 dalam Tafsir Al-Qurtubi
Sumber: Record pengajian tafsir Romo KH. Abdullah Sa’ad
Oleh: Chanifatur Rofiah



QS. Al-Maidah ayat: 105

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ ۖ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Penjelasan ayat:
Riwayat dari Abu Bakar Shiddiq ra, beliau berkata: “Wahai orang-orang yang beriman, kalian telah membaca ayat tersebut tapi kalian meletakkan ayat tersebut tidak pada tempatnya, dan kalian tidak tahu isi aslinya” maksudnya ayat tersebut jika tidak difahami dengan tafsiran yang benar itu seperti menyuruh kita untuk mengurusi diri sendiri dan tidak perlu memperdulikan orang lain sehingga banyak yang salah paham dari ayat tersebut.
Pada sebuah hadits dari Abu Bakar Shiddiq yang artinya:
Sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah saw pernah bersabda: “Sesungguhnya manusia ketika melihat suatu kemungkaran tetapi tidak merubah kemungkaran tersebut atau tidak peduli dan seolah-olah ia meninggalkan untuk berbuat amar ma’ruf nahi munkar, saya khawatir apabila Allah Swt akan mengumumkan adzabnya kepada orang-orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, jadi tidak hanya orang yang tidak mau merubah kemungkaran tersebut.”
Dalam hal tersebut, ayat 105 dalam surat al-Maidah jika dipadukan dengan hadits Nabi عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ  yang berarti uruslah dirimu tapi setelah kamu berusaha amar ma’ruf nahi munkar
Dalam tafsir al-Qurtubi disebutkan bahwa ayat ini turun untuk menyikapi ahlul ahwa’ yaitu orang yang mementingkan dirinya sendiri. Dalam tafsir ini juga disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Imam Abu Dawud yang menyatakan bahwa Imam Abu Ka’labah pernah menanyakan secara khusus tentang ayat 105 dalam surat al-Maidah kepada Rasulullah saw, lalu rasul menjawab “memberikan tafsir dari pada عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ  artinya uruslah dirimu sendiri dengan amar ma’ruf nahi mungkar secara terus menerus sampai pada batas suatu kondisi budaya sosial mereka sudah berapada pada tingkat kekikiran sehingga tidak peduli dengan keadaan orang lain. jadi tinggalkanlah apa yang terjadi pada umat manusia secara umum,” Artinya peganglah kebenaran yang telah kamu yakini jangan tergiur dengan keburukan perkembangan zaman di waktu itu.

Senin, 29 Mei 2017

Penjelasan Tafsir as-showi QS. Yusuf ayat: 5



Penjelasan Tafsir as-showi QS. Yusuf ayat: 5
Sumber: Record pengajian tafsir Romo KH. Abdullah Sa'ad
Oleh: Chanifatur Rofiah

QS. Yusuf ayat: 5
قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَىٰ إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia".

Penjelasan ayat:
Ketika mendengar Nabi Yusuf cerita kepada ayahnya yaitu Nabi Ya’qub “Ayah tadi malam saya mimpi ada sebelas bintang ada matahari dan bulan sujud kepadaku, lalu Nabi Ya’qub yang seorang rasul juga seorang Nabi yang mempunyai kebeningan jiwa yang tiada tandingannya tiada tara indahnya sehingga mampu menjadi al-Mir’atul mu’min atau al-mu’min al-muhaimin sehingga mampu melihat hal-hal yang dzahir termasuk arti dari mimpi tersebut, beliau (Nabi Ya’qub) mengatakan “Jangan menceritakan sebuah mimpi kepada saudaramu itu semua hanya akan membuat saudaramu berfikiran buruk kepadamu.” Karena saudara Yusuf itu orang yang alim maka akan memiliki rasa hasut pada Yusuf, sebab mereka faham betul arti dari bulan itu ayah, matahari itu ibu dan bintang sebelas adalah saudara Yusuf, dan jika mereka mengetahui mimpi dari Yusuf mereka akan berniat untuk menyingkirkan Yusuf.
Sesungguhnya Nabi Yusuf juga sudah mengiyakan apa yang dikatakan ayahnya dengan tidak menceritakan kepada saudaranya, tapi kenapa Yusuf diceburkan ke dalam sumur? Karena mimpi itu bagian dari isyarah kehidupan, kalau memang itu bagian dari kebenaran. Tapi mimpi dari seorang nabi lebih diartikan sebagai wahyu ilahiyah yang pasti kebenaran yang mutlak. Dan benar, semua sudara Nabi Yusuf akan takhluk kepadanya. Dalam hal tersebut, proses untuk takhluknya saudara-saudara Yusuf yang pasti ada sekenario dari Allah swt. Tapi tidak ada salahnya jika Nabi Ya’qub mengatakan “ini jika kamu ceritakan kepada saudaramu, maka saudaramu akan berbuat jahat kepadamu dengan menyingkirkanmu.” Dan ketika dikorelasikan kalaupun tidak diceritakan akan tetap ada sekenario tentang saudara-saudaranya yang berbuat jahat, karena itu syarat pendidikan untuk seorang nabi dan rasul yang akan disakiti oleh saudaranya. Akan tetapi jika mimpi tersebut diceritakan  kemungkinan saudara-saudaranya akan lebih dahsyat menyakitinya.
Nabi Ya’qub mengatakan “Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia”. Beliau mengatakan seperti itu, artinya beliau memberikan rambu-rambu kepada Nabi Yusuf, jika Yusuf akan menjadi seorang yang luar biasa. Karena Nabi Ya’qub mengetahui bahwa Yusuf akan menjadi seorang rasul. Dan jika mimpi tersebut diceritakan, sedangkan saudara-saudara Yusuf masih ada yang mempunyai jiwa-jiwa setan yajrimaggam (yang berjalan pada diri manusia melalui jalur darah) dan jika setan itu ikut campura tangan maka meraka akan berbuat jahat dan Yusuf akan dimusuhi oleh sudara-saudaranya bahkan Yusuf akan diajak untuk berbuat kejahatan.

Pelajaran yang dapat diambil:
Ketika seseorang bermimpi maka orang tersebut tidak boleh menceritakan mimpi tersebut, kecuali kepada orang yang benar-benar dicintainya dan orang yang mencintainya atau kepada orang alim yang tidak memiliki rasa hasut.
Pendapat para ulama “mimpi dari seseorang yang baik itu bagaikan sesuatu yang terbang menuju tingkatan yang lebih tinggi, tapi jika mimpi tersebut diceritakan kepada seseorang yang mempunyai rasa hasut kepada dirinya maka mimpi yang terbang tadi akan turun lagi. Maka dari itu ada seseorang yang diberi sir yang besar, diantaranya karena  pintar menyembunyikan futuhat ar-rabbaniyah itu ditutup karena bisa menaikkan derajat.
Jika mimpinya buruk maka tidak boleh diceritakan. Dan jika bermimpi buruk ketika bangun tidur dianjurkan untuk meludah tiga kali ke arah kiri lalu membaca ta’awudz, maka mimpi buruk tersebut tidak akan menjadi nyata.

Minggu, 28 Mei 2017

Musyawarah Dalam Perspektif Teori Sosiologi Gemeinschaft dan Gesellschaft

MUSYAWARAH DALAM PERSPEKTIF TEORI SOSIOLOGI
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sosiologi Tafsir
Dosen Pengampu : Irzum Farihah, S.Ag., MSI



Disusun oleh :
1.      Lu’lu’ul Luthfiyah                  (1530110009)
2.      Chanifatur Rofiah                   (1530110022)







 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN ILMU QUR’AN TAFSIR
TAHUN AKADEMIK 2016/2017



A.       LATAR BELAKANG
Mampu mengambil keputusan dengan baik adalah pembebasan diri yang sangat tepat di dalam kehidupan ini, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia hidup tidak terhindar dari masalah dan mereka dituntut untuk menyelesaikan. Pada sisi lain, adanya kesulitan dalam mengambil keputusan merupakan hal yang wajar bahkan bisa menimbulkan kesukaran-kesukaran terhadap keputusan itu sendiri.
Merupakan sifat kodrati manusia jika seseorang tidak dapat hidup secara individual karena manusia adalah zon politicon yaitu makhluk sosial yang paling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam agama Islam telah diajarkan bahwa menyelesaikan permasalahan tidak harus dengan emosi atau kehendak sendiri melainkan dengan jalan musyawarah.
Kata musyawarah terambil dari akar kata syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Musyawarah juga dapat juga berarti menyatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik sejalan dengan makna dasarnya.
Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah bagaikan lebah, makhluk yang sangat berdisiplin, kerja samanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dari hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi Saw menyamakan seorang mukmin dengan lebah.[1]
Konsep musyawarah merupakan salah satu pesan syari’at yang sangat ditekankan di dalam al-Quran keberadaannya dalam berbagai bentuk pola kehidupan manusia, baik dalam suatu rumah tangga dan sebuah negara yang terdiri dari pemimpin dan rakyat. Jangankan al-Quran, Nabi Saw yang dalam banyak hal menjabarkan petunjuk-petunjuk umum al-Quran, perihal musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya. Bahkan tidak juga memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara yang dilakukan oleh empat khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali berbeda-beda di antara satu dengan lainnya.[2]
Dalam makalah ini, kita akan membahas ayat Musyawarah dalam perspektif sosiologi. Dalam hal ini, bagaimanakah teori sosiologi mengulas ayat yang berkaitan dengan musyawarah. Lalu, apa saja yang dapat kita ketahui dari ulasan tersebut. Maka dari itu, kami membuat makalah ini dan mencoba mengaitkan antara ayat al-Qur’an dengan teori sosiologi.
B.       PEMBAHASAN
1.      QS. Asy Syuraa ayat 38
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَوةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَا هُمْ يُنْفِقُونَ.
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara meraka, dan mereka menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada meraka”.
2.      Asbabun Nuzul
Ayat ini diturunkan di Mekkah sebelum hijriah dan sebelum berdirinya daulah Islamiyah (era Madinah), sebagai pujian kepada kelompok muslim madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang karena mereka laksanakan di rumah Abu Ayub Al-Anshari. Ini menunjukkan bahwa musyawarah merupakan salah satu karakteristik penting yang khas bagi umat Islam, selain iman kepada Allah, mendirikan shalat, saling tolong menolong dalam masalah ekonomi.[3]Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.
Kata amruhum/urusan menunjukan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu masalah madhah/murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarhkan. Di sisi lain, mereka yang berwewenag dalam urusan yang dimaksud, tidaklah perlu terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika diajak oleh yang berwenang, karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antara mereka. Al-Marghi mengatakan apabila mereka berkumpul mereka mengadakan musyawarah untuk memeranginya dan membersihkan sehingga tidak ada lagi peperangan dan sebagainya.[4]
3.      Tafsir Ayat
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (memeatuhi) seruan Rabb-nya” Yakni, mengikuti Rasul-Nya, menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mentauhidkan-Nya dan menyembah-Nya.Dan mendirikan shalat” dua shalat merupakan ibadah terbesar kepada Allah. “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” Yaitu, mereka tidak menunaikan satu urusan hingga mereka bermusyawarah, dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskannya agar mereka saling dukung-mendukung dengan pendapat mereka.[5] Sebab suatu musyawarah tentang urusan bersama tidak akan mendapat hasil yang diharapkan kalau orang tidak mau menafkahkan sebagian kepunyaan pribadinya untuk kepentingan bersama.[6] Seperti dalam peperangan dan urusan sejenisnya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman pada surat Ali Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللّهِ لِنْتَ لَهُمْ ...
Untuk itu, Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat dalam menentukan peperangan dan urusan sejenisnya, agar hati mereka menjadi baik. Demikian pula ketika Umar bin Khattab menjelang wafat setelah ditusuk oleh seseorang, dijadikan masalah kepemimpinan sesudahnya berdasarkan musyawarah enam orang sahabat, yaitu Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, Sa’ad dan Abdurrahman bin Auf, maka para sahabat bermufakat untuk mengangkat Utsman.[7]
Dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.” (dan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka) atau sebagian dari apa yang Kami berikan kepada mereka (mereka menafkahkannya) untuk jalan ketaatan kepada Allah.[8] Hal itu dilakukan dengan berbuat baik kepada para makhluk Allah, dari mulai kerabat dan orang-orang terdekat setelahnya.
Kenikmatan yang tersedia di sisi Allah dalam kehidupan di akhirat itulah kenikmatan yang abadi dan kekal yang diperoleh sebagai pahala dan balasan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, mengerjakan amal yang shaleh dan bertawakkal hanya kepada Tuhannya, menjauhi dosa-dosa dan maksiat yang besar, mematuhi perintah-perintah agama dan sunnah rasul-rasul Allah, mendirikan shalat, melakukan musyawarah dalam segala urusan yang menyangkut kepentingan orang banyak, menafkahkan zakat.[9]
4.      Teori Gemeinschaft dan Gesellschaft
Ferdinand Toonnies terkenal dengan teorinya mengenai Gemeinschaft dan Gesellschaft sebagai dua bentuk yang menyertai perkembangan kelompok-keompok sosial. Gemeinschaft adalah bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan bersifat kekal. Dasar dari hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan, kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis. Kelompok yang Gemeinschaft ini dapat juga dijumpai pada masyarakat desa atau pada masyarakat yang masih tergolong sederhana.
Gesellschaft merupakan bentuk kehidupan bersama yang merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka waktu yang pendek. Gesellschaft bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka, serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan pada sebuah mesin. Bentuk Gesellschaft misalnya, terdapat pada organisasi pedagang, organisasi suatu pabrik atau dapat pada suatu organisasi industri dan seterusnya.[10]
 Menurut pandangan Emile Durkheim bahwa pada masyarakat desa, perbedaan kepandaian pada umumnya kurang menonjol sehingga kedudukan anggota-anggotanya secara individual tidak begitu penting. Masyarakat secara keseluruhan dianggap individu sehingga Durkheim menyebutnya sebagai struktur mekanis.
Di dalam Gemeinschaft, apabila terjadi sesuatu perselisihan atau pertentangan paham, maka penyelesaiannya tidak cukup dilakukan atas nama pribadi, akan tetapi menjadi urusan bersama atas nama kelompok. Misalnya, perkawinan yang masih ada hubungan keluarga, atau hanya berasal dari satu kampung saja, kalau pada suatu waktu terjadi pertengkaran sehingga sampai pada perceraian, maka urusannya menjadi urusan keluarga besar kedua belah pihak. Bahkan tidak hanya terbatas pada pertentangan antar suami-istri, malainkan anggota keluarga yang lain juga ikut terlibat.[11]
5.      Analisis
Ditekankan bahwa musyawarah dalam islam sangat ditekankan oleh Allah untuk mengambil suatu keputusan bersama. Musyawarah merupakan hal penting dari Ukhuwah Islamiah, sedangkan ukhuwah islamiah merupakan salah satu bukti adanya iman pada diri seorang muslim. Artinya, salah satu mekanisme untuk menjaga keutuhan ukhuwah islamiah yaitu dengan melakukan musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
Dalam ayat tersebut dijelaskan “persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka”, ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang khusus  berkaitan dengan masyarakat sabagai satu unit. Juga musyawarah dalam mengatasi berbagai persoalan, baik di lingkup keluarga, masyaraat,, atau sebagian dari warga Negara. Dengan catatan, masalah tersebut tidak mempunyai penyelesaian atau dasar dalil yang kuat yang terdapat pada al-Qur’an dan Hadits. Adapun bagi masalah yang sudah terdapat aturan yang jelas dan tegas di kedua sumber tersebut, makka tidak perlu dimusyawarahkan lagi. Dan ini sesuai dengan teori Ferdinand Toonnies tentang Gemeinschaft, apabila terjadi sesuatu perselisihan atau pertentangan paham, maka penyelesaiannya tidak cukup dilakukan atas nama pribadi, akan tetapi menjadi urusan bersama atas nama kelompok.
Sedangkan pada gesellschaft terdapat hubungan yang telah diperhitungkan untung dan ruginya dalam setiap perjanjian kerjasama, darisinilah terdapat spesialisasi kerja atau pembagian tugas, setiap tindakan selalu didasarkan pada alasan kepentingan pribadi.
Di akhir ayat, Allah juga menjanjikan kekalnya nikmat hidup di akhirat bagi mereka yang mau menafkahkan sebagian rezeki yang telah mereka peroleh untuk orang-orang yang berhak dan membutuhkan serta untuk dakwah di jalan Allah.
C.      KESIMPULAN
Musyawarah merupakan suatu keharusan dan termasuk salah satu tanda orang yang mematuhi seruan Allah SWT. Adapun hal-hal yang harus dimusyawarahkan hanya menyangkut persoalan duniawi seperti urusan rumah tangga, ekonomi, sosial, budaya, politik dan sebagainya. Sedangkan persoalan agama bersifat muthlak, ketentuannya termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits.
Hendaknya dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menjunjung nilai-nilai demokrasi yang di dalamnya mengandung asas-asas musyawarah. Seperti halnya ajaran islam demokrasi juga menjunjung nilai persatuan dan kesatuan. Maka jika semua hal itu bisa diterapkan dalam kehidupan, insyaAllah akan tercipta kehidupan yang damai.




















DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Software Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
Abdulsyani. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Bahreisy,Salim dan Said Bahreisy. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid 8. 2015. Jakarta: Gema Insani
Jalaluddin,Imam al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Bara Algesindo
Quraish, M. Shihab.Al Misbah Jilid 12.2002. Jakarta: Lentera Hati
Quraish, M. Shihab.Wawasan Al-Quaran Tafsir Maudhu’i Atas Persoalan Umat. 1996. Bandung: Mizan
Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002,


[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quaran Tafsir Maudhu’i Atas Persoalan Umat, 1996, Bandung: Mizan, hlm.469
[2]Ibid, hlm.472
[3]Quraish Shihab, Al Misbah Jilid 12, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm.511-512
[4]Tasfir Al-Ibriz
[5]Abdullah bin Muhammad, Software Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, hlm.211
[6]Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 8, Jakarta: Gema Insani, 2015, hlm.211
[7]Abdullah bin Muhammad, Software Tafsir...
[8]Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Bara Algesindo
[9]Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, Surabaya: PT. Bina Ilmu, hlm.
[10] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm.102-103
[11]Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan, Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm.109-110

TAFSIR LUGHAWY

TAFSIR LUGHAWY Oleh: KM. Abdul Gaffar, S.Th.I BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Al-Qur’an al-karim merupakan hidangan ila...